Rabu, 31 Oktober 2012

Artikel Ekonomi Kesehatan


Dampak Krisis terhadap Kesehatan Ibu dan Anak 
27 Januari 2009
Kekurangan gizi pada ibu dan anak senantiasa berhubungan dengan gangguan tumbuh kembang anak secara fisik, intelektual, dan sosial, yang dalam jangka panjang memengaruhi kualitas masa depan suatu bangsa. Krisis ekonomi berpotensi memperburuk situasi kesehatan ibu dan anak meskipun keterkaitannya tidak sederhana.
Salah satu kesimpulan dari pertemuan yang membahas dampak krisis ekonomi global pada anak di kawasan Asia Pasifik dan Timur, di Singapura, beberapa waktu lalu itu juga mengingatkan pada pernyataan Direktur the Aga Khan University, Zulfiqar A Bhutta bahwa pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang sedikit pada penurunan angka kurang gizi terhadap ibu dan anak, tetapi dampak deteriorasi ekonomi sangat besar dan cepat.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan Dana Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Anak di kawasan Asia Timur dan Pasifik (Unicef EAPRO ) bersama National University of Singapore (NUS) dan Kementerian Luar Negeri Singapura itu terungkap, Asia-Pasifik pernah mencapai pertumbuhan ekonomi mulai dari 6 sampai 8 persen, tetapi hasilnya tidak banyak dinikmati kelompok miskin. EAPRO merupakan rumah bagi 600 juta orang dengan pendapatan 1 dollar AS per hari, standar lembaga-lembaga internasional-meski ukuran itu simplistic-untuk mengukur garis kemiskinan.
”Masalah gizi ibu dan anak belum terpecahkan di kawasan ini,” ujar Dr Mahesh S Patel dari Unicef EAPRO. Dengan 20 persen jumlah anak balita berberat badan rendah—di beberapa negara bahkan 50 persen—posisi EAPRO jauh dari target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dalam penghapusan kelaparan.
Siklus kekurangan gizi dan berat badan rendah akan berlanjut karena anak perempuan kurang gizi akan menjadi perempuan kurang gizi yang melahirkan bayi kurang gizi. ”Generasi yang hilang” bukan hanya ancaman. Situasi itu, menurut Prof Kishore Mahbubani dari NUS, sangat berbahaya bagi masa depan suatu bangsa. Itulah tantangan besar di kawasan Asia Pasifik yang ditengarai 150 akademisi, teknokrat, dan peneliti. ”Karena tidak ada sistem perlindungan sosial yang menjadi ’sekoci penyelamat’ ketika terjadi krisis,” ujar Dr Santosh Mehrothra, Penasihat Senior Komisi Perencanaan India.
Gambaran umum
Krisis ekonomi sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan asupan gizi ibu hamil, menyusui, bayi dan anak balita, meski daya tahan terhadap dampak kurang pangan dan krisis sangat beragam. Hubungan antara tingginya harga pangan dan krisis ekonomi terhadap kondisi kesehatan dan gizi ibu dan anak, menurut Zulfiqar, sangat kompleks, bergantung pada sistem jaminan sosial dan peran swasta.
Krisis ekonomi berat di Peru akhir tahun 1980-an menyebabkan naiknya angka kematian anak 2,5 persen. Di banyak negara eks Uni Soviet, fluktuasi ekonomi yang tajam tahun 1990-an dikaitkan dengan kenaikan drastis angka bunuh diri orang dewasa, tetapi tak berpengaruh pada kesehatan anak. Hal itu mungkin terkait dengan kuatnya sistem kesehatan primer ibu dan anak di wilayah itu.
Di Indonesia, krisis keuangan 1997-1998 menyumbang pada naiknya angka kematian bayi dan anak balita sebesar 14 persen, angka anemia anak naik sebesar 50-65 persen, dan 15-19 persen pada ibu hamil. Harga obat dan biaya pelayanan kesehatan melonjak 60 persen (di Filipina 40 persen, Thailand 41 persen), angka orang sakit naik sampai 14,6 persen, kasus TB naik 14,6 persen, angka putus sekolah menengah naik 11 persen.
Krisis keuangan di Argentina pada akhir tahun 1990-an tidak berdampak pada angka kematian bayi dan anak balita, berbeda dengan krisis sebelumnya. Di Meksiko, angka kematian bayi dan anak balita naik 5-7 persen. Terhambatnya pertumbuhan janin pada masa kelaparan di Belanda tahun 1944-1945 menyumbang pada meningkatnya obesitas, risiko skizofrenia dan gangguan tingkah laku, tekanan darah, serta risiko penyakit jantung koroner puluhan tahun kemudian.
Kalau krisis keuangan global 2008 tidak diantisipasi, menurut estimasi jurnal kesehatan terkemuka di dunia, The Lancet, 35,3 persen dari 55 juta anak usia di bawah lima tahun di Asia Tenggara tumbuh kerdil, angka anemia ibu hamil naik 10-20 persen, dan bayi lahir berat badan rendah naik 5 sampai 10 persen.
”Perempuan adalah pihak terakhir yang mendapat manfaat meningkatnya pendapatan, tetapi yang pertama terkena dampak krisis dan kekurangan pangan. Situasi itu akan berdampak pada janin di kandungannya,” ujar Rita Bhatia dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Kantor Regional Bangkok.
Sistem jaminan social
Krisis 1997-1998 menegaskan pentingnya perencanaan investasi sosial jangka pendek, menengah, dan panjang dengan pendekatan terintegrasi sehingga mekanismenya mampu menggapai kelompok miskin dan yang mendekati kondisi ”hampir miskin” akibat krisis. Krisis selalu terkait dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja dan menurunnya kualitas hidup keluarga.
Menurut Prof Vitit Muntarbhorn, mantan Pelapor Khusus PBB mengenai Masalah Perdagangan Anak, mekanisme sistem perlindungan sosial itu seharusnya sudah disiapkan pada situasi terbaik dari kondisi ekonomi di suatu negara. ”Itu merupakan persiapan untuk menghadapi situasi apa pun,” ujarnya.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Dr Bayu Krisnamurti mengingatkan, dalam situasi apa pun perempuan dan anak selalu dalam kondisi rentan. Selain itu, kemiskinan selalu bersifat multidimensi. ”Juga sangat kompleks,” tegas Dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana, yang mengingatkan keterkaitan kemiskinan dengan letak geografi, kondisi sosial, ekologi, dan budaya masyarakat. Semua itu memengaruhi pola perawatan dan pengasuhan anak, selain rendahnya kualitas pendidikan, khususnya pendidikan dasar yang didapat orangtua.
”Di Pulau Panggang, di gugusan Kepulauan Seribu, seorang anak mengonsumsi jajanan dengan kualitas buruk sampai Rp 30.000. Mereka minum susu kental manis dan orangtua mengira itu sudah cukup,” ujar dokter yang selama belasan tahun berkutat dengan masalah cacingan pada anak serta masalah anemia pada ibu, anak, dan remaja.

Oleh : Maria Hartiningsih (www.cetak.kompas.com)


Kesimpulan
Siklus kekurangan gizi dan berat badan rendah akan berlanjut karena anak perempuan kurang gizi akan menjadi perempuan kurang gizi yang melahirkan bayi kurang gizi. ”Generasi yang hilang” bukan hanya ancaman. Situasi ini, sangat berbahaya bagi masa depan suatu bangsa. Dan pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang sedikit pada penurunan angka kurang gizi terhadap ibu dan anak, tetapi dampak deteriorasi ekonomi sangat besar dan cepat.
Krisis ekonomi sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan asupan gizi ibu hamil, menyusui, bayi dan anak balita, meski daya tahan terhadap dampak kurang pangan dan krisis sangat beragam. Hubungan antara tingginya harga pangan dan krisis ekonomi terhadap kondisi kesehatan dan gizi ibu dan anak, sangat kompleks, bergantung pada sistem jaminan sosial dan peran swasta. Hal ini dapat terlihat pada krisis yang terjadi di indonesia, argentina dan negara lainnya.
Krisis menegaskan pentingnya perencanaan investasi sosial jangka pendek, menengah, dan panjang dengan pendekatan terintegrasi sehingga mekanismenya mampu menggapai kelompok miskin dan yang mendekati kondisi ”hampir miskin” akibat krisis. Krisis selalu terkait dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja dan menurunnya kualitas hidup keluarga.


Saran
Pengaruh krisis sangat berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan anak, tentu kita tidak menginginkan terjadi los generation, maka sangat perlu upaya penanggulangan apabila terjadi krisis, karana banyak hal-hal yang bersifat negatif yang akan terjadi ketika krisis terjadi, misalnya: PHK besar-besaran, pengangguran, tungkat pendapatan yang rendah, adapun upya yang bisa di lakukan dalam menaggulangi krisis adalah:
( sepuluh arahan presiden RI )
  1. Selalu optimis
  2. Kebijakan dan tindakan yang tepat, serta kerja keras 
  3. Optimasi APBN. 
  4. Dunia usaha harus tetap bergerak. 
  5. Semua pihak harus cerdas menangkap peluang. 
  6. Penggunaan produk dalam negeri.
  7. Memperkokoh sinergi dan kemitraan.
  8. Menghindari ego sektoral.
  9. Mengutamakan kepentingan rakyat.
  10. Komunikasi yang tepat dan bijak.

7 komentar: